Perkataan filsafat berasal dari bahasa
Arab falsafah yang diturunkan dari bahasa Yunani philosophia, artinya cinta
kepada pengetahuan atau cinta kepada kebenaran. Orang yang cinta pada
pengetahuan atau kebenaran disebut philosophos, atau failosuf dalam bahasa
Arab, filsuf dalam bahasa Indonesia.
Banyak definisi yang diberikan para
ahli mengenai filsafat, namun dari sekian banyak alasan atau definisi tentang
arti filsafat, agaknya yang dapat diterima secara umum adalah batasan yang
mengatakan bahwa filsafat adalah pemikiran rasional, kritis, sistematis dan
radikal tentang suatu objek.
Objek pemikiran kefilsafatan adalah
segala yang ada, yaitu Tuhan, manusia dan alam. Jika yang menjadi objek
pemikiran adalah Tuhan, maka lahirlah filsafat ketuhanan. Jika yang menjadi
objek pemikiran adalah agama dan ajaran Islam, lahirlah filsafat Islam.
Filsafat Islam adalah pemikiran rasional, kritis, sistematis dan radikal
tentang aspek-aspek agama dan ajaran Islam.
Pengertian filsafat Islam seperti yang
dikemukakan di atas telah ada bersamaan dengan sejarah pemikiran ummat Islam.
Al-Qur'an sejak semula telah memerintahkan umat manusia untuk menggunakan
akalnya, khususnya untuk menyingkap rahasia alam semesta yang akan mengantarkan
manusia kepada keyakinan tentang adanya Tuhan yang menciptakan dan
memeliharanya.
1. PEMECAHAN MASALAH
MELALUI FILSATAT
Keyakinan kepada adanya Tuhan harus didasarkan atas kesadaran
akal, bukan sekedar kesadaran yang bersifat tradisional yakni melestarikan
warisan nenek moyang betapapun corak dan konsepnya (Ahmad Azhar Basyir,
1993:17).
Akal adalah potensi (luar biasa) yang dianugerahkan Allah kepada
manusia, karena dengan akalnya manusia memperoleh pengetahuan tentang berbagai
hal. Dengan akalnya manusia dapat membedakan mana yang benar mana yang salah,
mana yang baik mana yang buruk, mana yang menyelamatkan mana yang menyesatkan,
mengetahui rahasia hidup dan kehidupan dan seterusnya.
Oleh karena itu, agama dan ajaran Islam memberikan tempat yang
tinggi kepada akal, karena akal dapat digunakan memahami agama dan ajaran Islam
sebaik-baiknya dan seluas-luasnya. Sangat banyak ayat Al-Qur'an yang
memerintahkan manusia mengunakan akalnya untuk berfikir. Memikirkan alam
semesta, memikirkan diri sendiri, memikirkan pranata atau lembaga-lembaga
sosial, dan sebagainya, dengan tujuan agar perjalanan hidup di dunia dapat
ditempuh setepat-tepatnya sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk
ciptaan Allah yang akan kembali kepada-Nya serta memetik hasil tanaman amal
perbuatannya sendiri di dunia baik sebagai abdi maupun sebagai khalifah-Nya di
bumi.
Beberapa contoh ayat Al-Qur'an yang memerintahkan manusia berfikir
tentang alam, diri sendiri, ummat terdahulu dan pranata (lembaga) sosial,
dikemukakan berikut ini. Dalam surat Ali Imran ayat 190, Allah berfirman, yang
artinya :
"Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orangyang berakal".
Dalam surat Ar-Rum
(30) kalimat pertama ayat 8, Allah bertanya; "Dan mengapa mereka
tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? "
Dalam surat Al-Mu'min
(40) kalimat pertama ayat 21 Allah bertanya kepada manusia yang hidup sekarang
tentang nasib mereka yang hidup dahulu, terjemahannya (lebih kurang),
"Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu
memperhatikan bagaimana kesudahan (nasib) orang-orang sebelum mereka?
Dalam surat Ar-Rum
(30) tersebut di atas, Allah menyatakan dalam ayat 21 tentang pranata atau
lembaga perkawinan;
"Dan diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan untukmu isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung kepadanya dan merasa tenteram bersamanya, dan
dijadikan-Nya rasa cinta dan kasih sayang di antara kamu (berdua). Sesungguhnya
pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
mereka yang berpikir."
2. PROSES FILSAFAT
DALAM RANGKA MENCAPAI IMAN
Akal yang diberi tempat demikian tinggi di dalam agama Islam,
mendorong kaum muslimin mempergunakannya untuk memahami ajaran-ajaran Islam dengan
penalaran rasional, sejauh ajaran itu menjadi wewenang akal untuk
memikirkannya.
Oleh karena itu, sesungguhnya, pada hakikatnya ummat Islam telah
berfilsafat sejak mereka menggunakan penalaran rasional dalam memahami agama
dan ajaran Islam. Penalaran rasional dalam memahami ajaran Islam adalah
mempergunakan akal pikiran (ra'yu) untuk berijtihad sebagaimana disebutkan
dalam hadits tentang Mu'az bin Jabal, (Ahmad Azhar Basyir, 1993:18-19).
Sebagai ilmu dan bidang studi, filsafat Islam muncul bersamaan dengan
munculnya filsuf yang muncul pertama, Al-Kindi pada pertengahan abad IX M. Atau
bagian pertama abad III H, setelah berlangsung gerakan penterjemahan buku ilmu
dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab lebih dari setengah abad di Bagdad.
Oleh karena dapat dipahami kalau ada ulama yang menganggap filsafat hanyalah
hasil pemikiran berdasarkan akal manusia semata, seperti filsafat Yunani yang
diterjemahkan itu. Anggapan demikian tidak benar, sebab para filsuf muslim yang
berfilsafat sama seperti para ulama lainnya juga, mendasarkan pemikirannya pada
Al-Qur'an dan Al-Hadits dan memandang Al-Qur'an dan Al-Hadits di atas segala
kebenaran yang didasarkan pada akal manusia semata. Mereka tertarik kepada
filsafat karena berpikir atau berfilsafat merupakan tuntutan agama dalam rangka
mencari kebenaran dan mengamalkan kebenaran itu. Yang mereka pergunakan sebagai
saringan (filter) adalah ajaran Al-Qur'an dan Al-Hadits. Dengan mempergunakan
Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai dasar dan bingkai pemikiran, dapatlah disebut bahwa
hasil pemikiran mereka adalah filsafat Islam atau filsafat dalam Islam
(Ensiklopedi Islam Indonesia, 1992: 232). Filsafat Islam juga membicarakan
masalah-masalah besar filsafat, seperti soal wujud, soal esa dan berbilang,
yang banyak dari yang Maha Satu (di bawah), teori mengenal kebahagiaan dan
keutamaan, hubungan manusia dengan Tuhan dan sebaliknya. Selain itu filsafat
Islam mencakup juga tentang kedokteran, hukum, ekonomi dan sebagainya. Juga
memasuki lapangan ilmu-ilmu keislaman lain seperti ilmu kalam, ilmu fikih dan
ilmu tasawuf serta ilmu akhlak. Dalam pembahasan ilmu kalam, dan ilmu fikih
serta ilmu tasawuf (juga ilmu akhlak) terdapat uraian yang logis dan sistematis
yang mengandung pemikiran-pemikiran filosofos (kefilsafatan). Banyak persoalan-persoalan
yang dibahas dalam filsafat Islam. Di antaranya yang penting dalam kajian ini
adalah persoalan (hubungan) akal dan wahyu atau hubungan filsafat dengan agama,
soal timbulnya yang banyak dari yang Maha Satu yaitu kejadian alam, soal ruh,
soal kelanjutan hidup sesudah ruh berpisah dengan badan atau mati (Ensiklopedi
Islam jilid II, 1993:16-17).
Filsafat Islam mencapai puncaknya di zaman al-Farabi dan Ibnu Sina
pada abad XI dan XIIM atau abad IV dan V H. Kedua tokoh ini merupakan bintang
paling bercahaya dalam sejarah filsafat Islam, sedang yang lain, sebutlah
misalnya Ibnu Maskawih, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, juga bintang-bintang filsafat
Islam, tetapi cahaya mereka tidaklah secemerlang cahaya al-Farabi dan Ibnu Sina
tersebut di atas. Setelah ada pertentangan di antara para ahli atau ulama
mengenai kefilsafatan seperti yang telah disinggung di atas yang berpuncak pada
polemik antara Ibnu Rusyd dan al-Ghazali sekitar abad XIIM, perhatian orang
kepada filsafat menjadi berkurang di kalangan Sunni. Perhatian itu baru bangkit
dan berkembang kembali pada satu abad terakhir ini (abad XX M). Di kalangan
Syi'ah perhatian kepada filsafat (Islam) tidak pernah berkurang, sampai
sekarang. Malah pada waktu perhatian terhadap filsafat berkurang di kalangan
Sunni, kalangan Syi'ah mampu melahirkan filsuf-filsuf besar, seperti Mulla
Sadra (w. 1640 M atau 1050 H).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar